Aku Ini

BABAT ALAS AMBARAWA

Selamat datang di Komunitas Babat ALas.Joint grup FB: Komunitas Babat Alas

Sekilas Tentang Babat ALas

Komunitas Sastra Babat Alas Ambarawa merupakan organisasi pemberdayaan anak-anak muda Ambarawa pada khususnya, yang bergerak di bidang sastra dan penulisan kreatif

Bass: Perum Serasi no. 155, RT/RW: 06/XII, Ambarawa, 50612 Contact Person: M. Rifan Fajrin 085640723095 Bulletin Babat Alas menerima tulisan berupa artikel sastra dan budaya, cerpen, dan puisi. Kirim tulisan Anda ke: komunitasbabatalas@ymail.com

Friday, March 2, 2012

Cara Berpakaian: Alat Kebangkitan Nasional

Cara Berpakaian: Alat Kebangkitan Nasional

Oleh Muhammad Rifai Fajrin*

     Sebuah artikel pada Koran Kompas yang pernah saya baca mengupas bagaimana pakaian menjadi kode untuk melihat sikap politik seseorang. Pa-kaian mengiringi perubahan sosial politik sekaligus sebagai simbol perlawanan bagi pemerintah Hindia Belanda pada masa kebangkitan nasional seratus tahun lalu. Aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah Hindia Belanda saat itu, dengan menciptakan pembagian kelas sosial dan politik melalui cara berpakaian justru melahirkan perlawanan pejuang pergerakan nasional.
Pengurus Budi Utomo—Organisasi yang kelahirannya diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional setiap tanggal 20 Mei—memadukan pakaian tradisional dengan pakaian modern ala barat. Mereka memadukan kain panjang dan destar batik dengan jas dan dasi. Cara berpakaian tersebut merupakan perlawanan secara diam-diam terhadap penguasa Hindia Belanda tahun 1910 sampai menjelang 1920-an. SeOleh Muhammad Rifai Fajrin*
Sebuah artikel pada Koran Kompas yang pernah saya baca mengupas bagaimana pakaian menjadi kode untuk melihat sikap politik seseorang. Pa-kaian mengiringi perubahan sosial politik sekaligus sebagai simbol perlawanan bagi pemerintah Hindia Belanda pada masa kebangkitan nasional seratus tahun lalu. Aturan-aturan yang ditetapkan pemerintah Hindia Belanda saat itu, dengan menciptakan pembagian kelas sosial dan politik melalui cara berpakaian justru melahirkan perlawanan pejuang pergerakan nasional.


     Pengurus Budi Utomo—Organisasi yang kelahirannya diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional setiap tanggal 20 Mei—memadukan pakaian tradisional dengan pakaian modern ala barat. Mereka memadukan kain panjang dan destar batik dengan jas dan dasi. Cara berpakaian tersebut merupakan perlawanan secara diam-diam terhadap penguasa Hindia Belanda tahun 1910 sampai menjelang 1920-an. Sebab, sebetulnya Belanda hendak menciptakan perbedaan cara berpakaian dengan penduduk pribumi dengan memperkenalkan Jas, kain panjang dan Dasi yang dianggap sebagai pakaian modern sebagai atribut mereka. Ironisnya, pakaian itu justru digunakan pengurus organisasi pribumi. 


     Perlawanan Budi Utomo berlanjut. Seiring ditegaskannya pergerakan mengusir penjajah menjadi perjuangan kemerdekaan, “Generasi 1928” Sukarno dkk adalah politisi yang gemar memakai pakaian barat tetapi menjadikan peci sebagai ciri khas dan kebanggaannya, simbol nasionalisme sekaligus simbol perlawanan. Mereka mengenakan pakaian ala barat sebagai sindiran kepada pemerintah Belanda dengan tetap menegaskan identitas keindonesiaannya. 


     Sayangnya setelah 100 tahun Kebangkitan Nasional, pakaian nasional yang menjadi ciri identitas bangsa malah mulai ditinggalkan. Pakaian ala barat marak digunakan, tetapi dengan meninggalkan kebanggaan memakai pakaian nasional seperti kebaya, batik maupun peci. Masyarakat justru bangga mengenakan pakaian ala barat dalam sebagai pengiring aktivitasnya, contohnya dalam melangsungkan pernikahan. Tentu hal ini menimbulkan tanda tanya. Apakah masyarakat Indonesia telah kehilangan kebanggaannya untuk mengenakan pakaian-pakaian nasional? Ataukah disebabkan harga pakaian tradisional yang cenderung mahal dibanding pakaian barat?


     Jika masyarakat mengenakan pakaian barat disebabkan faktor ekonomis, maka benarlah yang disampaikan Denys Lombard. Hasil angketnya pada majalah Djawa tahun 1924 menyebutkan, harga satu celana dan satu kemeja yang merupakan pakaian barat hanya 11,8 gulden, sementara satu surjan, satu kain dan satu Blangkon yang merupakan pakaian nasional mencapai 17 gulden. Hal ini menjadi alasan masyarakat lebih memilih memakai pakaian-pakaian barat karena lebih ekonomis. Namun demikian, jika kini masyarakat benar-benar telah kehilangan kebanggaan memakai pakaian nasional, bukankah kita patut untuk mengkhawatirkannya?[]


Rifai Fajrin*















1 comments:

Benarkah Boedi Oetomo melawan pemerintah kolonial Belanda? ini organisasi sekretarian dan primordialisme. Hanya orang Jawa dan Ningrat yang boleh jadi anggota. (baca: Api sejarah I)

Mengenai pakaian nasional, apakah kebaya merupakan pakaian indonesia-sentris? jelas disana termaktub politik jawa-sentris warisan orde lama dan orde baru. Bagaimana dengan pakaian etnis lain? Indonesia memeliki lebih dari 120 etnis. Tirani mayoritas jika alasannya adalah karena kebaya paling banyak dipakai di Indonesia, jelas saja karena jumlah jiwa dari suku Jawa lebih banyak dari suku lain.

sudah beberapa tahun ini saya tidak merayaka Harkitnas tgl 20 Mei, karena itu adalah dusta sejarah.

Post a Comment

kritik dan saran dari Anda sangat kami butuhkan

Subscribe To RSS

Sign up to receive latest news