Aku Ini

BABAT ALAS AMBARAWA

Selamat datang di Komunitas Babat ALas.Joint grup FB: Komunitas Babat Alas

Sekilas Tentang Babat ALas

Komunitas Sastra Babat Alas Ambarawa merupakan organisasi pemberdayaan anak-anak muda Ambarawa pada khususnya, yang bergerak di bidang sastra dan penulisan kreatif

Bass: Perum Serasi no. 155, RT/RW: 06/XII, Ambarawa, 50612 Contact Person: M. Rifan Fajrin 085640723095 Bulletin Babat Alas menerima tulisan berupa artikel sastra dan budaya, cerpen, dan puisi. Kirim tulisan Anda ke: komunitasbabatalas@ymail.com

Friday, March 2, 2012

Sudip

Sudip
Oleh Janoary M Wibowo


     Gunting bukanlah alat masak. Barangkali akan terkesan janggal jika kita membuat nasi goreng dengan gunting. Lazimnya, alat masak yang digunakan adalah sudip. Ya, barangkali kelaziman itulah yang terkadang menjadi konvensi, aturan-aturan tak tertulis yang disepakati. Bahkan, membuat nasi goreng pun ada aturan-aturan dasar. Bahan dasarnya nasi, biasanya dimasak di wajan, nasinya dicampur dengan bumbu menggunakan sudip. Jadi, apabila kita berniat membuat nasi goreng, kita paling tidak harus tahu bagaimana dasar-dasar membuat nasi goreng—termasuk peralatan apa saja yang lazim digunakan.


     Pun, sastra berkaitan dengan konvensi semacam itu. Apabila kita ingin menulis puisi, barangkali akan lebih baik jika kita mengetahui dasar-dasar menuliskannya. Namun, konvensi itu bukan rantai. Konvensi tidak begitu mengikat. Konvensi bersifat longgar—bukan berarti harus dilanggar—dan penuh ruang improvisasi. Semisal Farah Quinn, dia koki berpengalaman. Barangkali caranya membuat nasi goreng jauh lebih lihai dan enak daripada orang-orang kebanyakan. Barangkali Farah Quinn sudah mampu melakukan improvisasi. Lahir dari pengalaman. Tercipta oleh kebiasaan-kebiasaan terus melakukan.


     Lalu, apa itu puisi? Ada judul. Ada baris-baris. Ada bait-bait. Tentu ada kata yang dituliskan. Sesekali—tidak melulu harus—ada rima yang dimainkan. Boleh kita mengatakan begitulah puisi, tanpa menafikan segala kemungkinan definisi puisi dari sumber lain. Bagaimana sifat puisi? Menyitir pernyataan filsuf Yunani Horatius dalam tulisannya Ars Poetica, puisi itu bersifat dulce et utile. Menghibur dan bermanfaat. Tak apa menulis puisi yang—hanya—menghibur diri sendiri. Namun, alangkah indah jika orang lain yang membaca ikut terhibur juga. Menghibur itu pun sudah menjadi manfaat puisi. Namun, alangkah baik jika ada manfaat lain yang timbul selain sekadar menghibur. Membuat ‘melayang dan terhenyak’, seperti itulah kata Chairil Anwar tentang puisi yang baik.


     Dan untuk mencapai kondisi membuat ‘melayang dan terhenyak’, seorang yang menulis puisi butuh kreativitas—selain pengalaman berimprovisasi dari keseringan dia menulis. Sudah barang tentu, kita harus sudah pernah membuat nasi goreng biasa jika menginginkan membuat nasi goreng spesial. Barangkali dengan tambahan irisan sosis dan telur ceplok. Kemampuan mengembangkan itu barangkali menjadi penting juga guna menunjukkan ciri khas. Karakter penulis dalam karyanya. Karakter yang baik bisa jadi adalah yang tak menabrak semua aturan. Bolehlah sesekali menabrak, asal ada manfaatnya. Seperti kata Bang Rhoma, jangan sering begadang, tapi bolehlah begadang asal ada perlunya.


     Karakter adalah ciri-ciri khusus. A la jika menggunakan istilah kuliner. “This is it! Nasi Goreng Special a la chef Farah Quinn.” kata Farah. Lalu bagaimana puisi a la kita? Ah, kita butuh mengetahui puisi-puisi A la orang lain. A la Soetardji barangkali, a la Rimbaud bisa jadi, atau a la yang lain lagi. Untuk mengetahui semua itu, kita perlu membaca. Sederhananya, untuk bisa menulis dengan baik, kita perlu membaca. Bayangkan sebuah kendi, sebelum bisa menuangkan isinya ke dalam gelas, kendi butuh diisi. Kepala sebelum menuangkan gagasannya ke dalam karya, dia butuh diisi. Dengan apa? Tentu dengan membaca. Barangkali begitulah. Pertama kali kita perlu mengetahui apa itu puisi dan bagaimana menuliskannya. Anggaplah hal tersebut sebagai alat utama, sudip kita. Lalu kita terus menulis. Sambil terus membaca. Ya, selamat menemukan a la kita. Mari saling menulis saling membaca.Salam Sastra! []


Penulis

*Muhammad Rifai Fajrin, S.Pd, pendidik pada bidang Ilmu Sejarah dan IPS, mengajar di SMA Pondok Modern Selamat (PMS) Kendal. Menaruh minat dan suka bertukar pikiran tentang segala hal yang berkaitan dengan sejarah dan budaya. Dan, sesekali bolehlah mengobrol tentang sepakbola, khususnya Liverpool F.C. []
Keterangan Gambar: dr. Sutomo
Penulis
*) Janoary M Wibowo, lahir di Grobogan dan sekarang berdomisili di Semarang. Menulis puisi dan cerpen. Beberapa karyanya masuk dalam antologi bersama seperti Beranda Rumah Cinta dan Senja di Batas Kota. Sekarang bergiat di Open Mind Community Semarang.

1 comments:

Post a Comment

kritik dan saran dari Anda sangat kami butuhkan

Subscribe To RSS

Sign up to receive latest news