Aku Ini

BABAT ALAS AMBARAWA

Selamat datang di Komunitas Babat ALas.Joint grup FB: Komunitas Babat Alas

Sekilas Tentang Babat ALas

Komunitas Sastra Babat Alas Ambarawa merupakan organisasi pemberdayaan anak-anak muda Ambarawa pada khususnya, yang bergerak di bidang sastra dan penulisan kreatif

Bass: Perum Serasi no. 155, RT/RW: 06/XII, Ambarawa, 50612 Contact Person: M. Rifan Fajrin 085640723095 Bulletin Babat Alas menerima tulisan berupa artikel sastra dan budaya, cerpen, dan puisi. Kirim tulisan Anda ke: komunitasbabatalas@ymail.com

Monday, January 16, 2012

Tuturan Hujan

Tuturan Hujan
Oleh Arif Sengkuni*

Pernahkah terfikirkan olehmu, meskipun itu hanya sekedar dalam khayalan angan, bahwa hujan pun berjiwa. Seperti halnya manusia, malaikat dan jin. Bila kau adalah orang-orang yang memilih hening ketika hujan turun, adakah tuturan hujan yang pernah kau dengar? Andai pernah, aku harap kau mau menceritakannya, aku percaya tuturan itu tak akan pernah sama seperti yang dia tuturkan padaku. Dia bertutur seperti ini, saudaraku.
Ini cerita tentang perbincangan dua mahkluk tuhan yang terikat kesunyian. Di gubug bambu, di tengah hamparan padi yang menguning, ladang di tepi kota. Mereka mengurai benang-benang perjalanan.
***
Aku datang bersama desah lembut semilir angin yang membelai ujung-ujung daun basah. .Menyapanya, dan dengan secepat cahaya duduk disampingnya pada jeda kedipan mata. Dia menatapku.
“Kau tak terkejut, kawan?”
“Terkejut karena apa?”
Dia mengalihkan tatapannya dariku. Mengamati hamparan rimbun tetes air yang tergelar sampai kebukit di dinding langit.
“Adakah bagimu yang menarik dari hujan hingga kulihat ada tenang di wajahmu kala kau mengamati rimbun tetes itu? ”
“Hujan bagai manusia. Dia ada dengan dua sisi dan barjiwa”
“Mungkin”
“Setiap kata dan ungkapanku tak butuh pengakuan, kesendirian mengajariku itu. Dan bukankah kesepian adalah nikmat bila kita mengiklaskannya? Aku terlalu biasa dengan kesendirian hingga sepi kini adanya sebagai kewajaran. Jiwa-jiwa lain yang pernah mengisi arti hidup di hatiku telah lama mereka kembali, menitipkan sesak kenangan.”
“Aku mengertimu pada ketidakmengertian. Setiap kali aku melihatmu, selalu ada rasa yang menumbuhkan dua tunas pertanyaan. Lebih beruntung siapa antara kau dan aku? apakah kita termasuk yang beruntung? Tapi memang, ada ruang-ruang yang hanya hak tuhan”
“Karna pada terang pun terdapat misteri-Nya. Suaramu mengingatkanku pada tuturan-tuturan hujan. Mungkinkah kau jiwa itu?”
”Tanyakan sendiri pada ‘rasa’mu. Desirnya adalah jawaban”
“Sudahlah, siapa pun kau, aku tak begitu peduli. Nasib mengajariku pula ketidakpedulian. Aku ada bagai bunga yang tumbuh di ceruk lembah. Entah ada atau tidak yang melihat dan menikmatinya, bunga itu tetap tumbuh kuncup untuk kemudian mekar. Dia hadir sebagai kewajaran, sebagai keniscayaan”
“Ada kalanya takdir serupa menjalani”
“Bagaimanakah aku sepantasnya menyikapi takdir, berbahagia atau justru malah meratapi bila pilihan dua pintu tertutup bagiku?”
“Kebahagiaan dan ratapan mungkin bukanlah pilihan bagi para hiasan. Dua hal itu melebur satu. Bagimu, seperti juga aku”
“Tidak, tidak persis sepertimu. Karena aku ingin jadi taman bunga di halaman istana mereka yang dulu pernah mengekalakan arti cinta bersahaja di sanubariku. Aku pun ingin menjadi alas kaki bagi nenek penjual nasi uduk itu, yang setiap pagi memanggilku, untuk dengan senyum mengiklaskan sebungkus nasi uduk untuk kumakan. Juga bagi beberapa mereka yang pernah menyentuhku dengan lembutnya ketulusan. Setidaknya aku masih ingin memeiliki arti dan guna bagi mereka. Dan itu aku kira akan membahagiakanku”
“Aku kini menyadari, aku sepantasnya iri denganmu. Kau mungkin lebih beruntung. Tapi bagiku semuanya akan tetap berjalan baik-baik saja. Karna aku ada untuk keikhlasan. Sejak ku
terlahir, aku adalah alas kaki, aku jugalah taman-taman bunga itu bagi jiwa-jiwa dan raga manusia, juga segala makhluk dan benda di ruang fana dan di keabadian nanti”
“Kau tak sepantasnya iri denganku. Karna aku pun pernah berharap menjadi jiwamu. Dan setidaknya kini aku hampir sepertimu. Ada sebagai hiasan. Mungkin yang membedakan, kua hadir bagi keikhlasan, sedang aku hadir dengan tujuan-tujuan”
Baikalah, terima kasih untuk perbincangan ini, kawan. Maaf, aku mesti pamit. Langit sudah mulai cerah, dan gerimis hampir habis. Selamat jalan, sampai bertemu nanti di alam kekal. Tak sepatutnya aku tetap di sini. Semoga kebahagiaan akan nyata kau dapati”
Baiklah, sobat. Seperti yang sudah-sudah, aku akan begitu merindukanmu. Teruslah bertutur, sampai nanti lenyapnya kefanaan”
“Selamat tinggal”
Aku pun pergi meninggal-kan jiwanya dengan kecepatan segaimana aku datang tadi. Dia tetap terduduk diam disamping sesosok raga lusuh yang kaku tertelungkup dilapas jiwa. Menunggu perjalanan berikutnya.
***
Saudaraku, seperti itulah hujan bertutur padaku. Dan esok paginya, setelah aku dituturi hujan tentang kisah percakapan itu, aku melihat diberita televisi tentang perempuan gila-dalam artian gila yang sebenarnya-yang mati membusuk di gubuk bambu, di ladang tepi kota Bekasi. Aku mengharap kau mau menceritakan tuturan-tuturan lainnya dari hujan. Bila perlu tuliskan, saudaraku.

*)Arif Sengkuni—Mahasiswa Sastra Indonesia Unnes. Kelahiran Banyumas, dua dasawarsa yang lalu lebih sedikit. Pegiat Lab Teater Usmar Ismail BSI Unnes

1 comments:

Tuturan Hujan
hujan yang bertutur.

terkadang kita memang perlu untuk mendengarkan apa yang disampaikan oleh makhluk-makhluk selain manusia, hehehe,,,

Post a Comment

kritik dan saran dari Anda sangat kami butuhkan

Subscribe To RSS

Sign up to receive latest news