Aku Ini

BABAT ALAS AMBARAWA

Selamat datang di Komunitas Babat ALas.Joint grup FB: Komunitas Babat Alas

Sekilas Tentang Babat ALas

Komunitas Sastra Babat Alas Ambarawa merupakan organisasi pemberdayaan anak-anak muda Ambarawa pada khususnya, yang bergerak di bidang sastra dan penulisan kreatif

Bass: Perum Serasi no. 155, RT/RW: 06/XII, Ambarawa, 50612 Contact Person: M. Rifan Fajrin 085640723095 Bulletin Babat Alas menerima tulisan berupa artikel sastra dan budaya, cerpen, dan puisi. Kirim tulisan Anda ke: komunitasbabatalas@ymail.com

Monday, January 16, 2012

IMUNITAS “RASA” DALAM SEBUAH PUBERITAS

 Meraba Sastra
IMUNITAS “RASA” DALAM SEBUAH PUBERITAS
Dalam Puisi Berjudul “Awal Dari Suatu Akhir” Karya Indyana Meitayoga
Oleh Pandhu Blady Idiet*

Sebuah masa yang indah, namun, sekaligus sebuah masa yang labil dan tak terarah; mungkin itulah sebuah ungkapan yang tepat untuk menggambarkn masa puberitas remaja. Banyak terjadi berbagai siklus yang selalu terulang dalam masa tersebut. Sebuah masa pencarian jati diri, yang membuat segala sesuatu serasa tak terbatas. Meski merasa sakit, ketika mendapatkan sebuah akibat buruk dari apa yang telah dilakukan, tetap, sesuatu itu akan terus dicoba, hingga mencapai sebuah hasil yang tidak menimbulkan rasa sakit. Namun pada akhirnya, yang membuat hilangnya rasa sakit atas akibat buruk, bukanlah hasil yang baik, melainkan, justru dikarenakan terbentuknya sebuah “imunitas” dari rasa sakit akibat suatu kegagalan. Bila tanpa disadari, hal demikian, yang seringkali terjadi pada remaja, akan menimbulkan suatu gejala yang akan “mengobrak-abrik” pemikiran akan sebab dan akibat. Sebuah imunitas yang sebenarnya tidak pada tempatnya, atau mungkin lebih tepatnya, sebuh imunitas yang dikembangkan secara kurang tepat.

Sebuah realita yang terjadi dalam dunia remaja, atau mungkin lebih tepatnya, dunia “a-be-ge” era global yang sebenarnya adalah sebuah ancaman akan kematian sebuah perasaan tulus dalam hati. Hal tersebut, secara jelas tergambar di dalam puisi berjudul “awal dari suatu akhir”, sebuah puisi realistis, dari seorang siswi sma, yang mencoba menggambarkan realita dalam hidupnya melalui kata-kata yang cukup sentimentil, namun, tetap penuh makna. Indiyana meitayoga, seorang siswi sma, yang juga aktif di dalam dunia seni teater. Meskipun dengan usia yang dirasa masih cukup belia, ia mampu mengungkapkan perasaan hati nya,( yang mungkin sekarang sudah mendapatkan sebuah “imunitas” rasa), dengan kata-kata yang cukup indah dan benar benar terangkai dengan irama yang khas, beraroma suasana penuh puberitas. Bahkan dari judul puisi tersebut, sebenarya kita mampu sekilas melihat tentang fenomena di dalamnya. “awal dari suatu akhir” bahwa setiap cerita memiliki awal, dan setiap cerita memiliki akhir. Judul tersebut menyampaikan, bahwa sebenarnya di dalam setiap cerita yang dijalani remaja dalam usahanya menemukan jati diri, terjadi banyak sekali pengulangan-pengulangan siklus yang sama. Semua berawal, lalu berakhir; awal dan akhir terus menerus saling melanjutkan dan membuat sebuah roda reinkarnasi yang tanpa disadari memberikan dampak yang bermacam-macam.

Tatkala senyumku mulai merekah//Rona pipi mulai memerah//Galau jiwa perlahan musnah//Terganti bahagia nan tercurah.

Pada baris-baris tersebut, tergambar jelas suatu titik resolusi yang sudah mulai dicapai oleh si penulis. Resolusi akan apa? Akan suatu permasalahan yang telah terselesaikan sebelumnya, namun masih menyisakan gambaran jelas dalam benak hatinya. Terlihat dengan jelas, pemilihan kata “galau” menjabarkan sesuatu yang tidak pasti, yang sedang terjadi di dalam pemikiran si penyair. Sedangkan kegalauan tersebut belum benar-benar mampu dihilangkan, namun bisa sedikit-sedikit dikalahkan oleh munculnya sebuah rasa yang baru.

Tatkala sosokmu ku gapai//Sentuhku tergambar dalam lambai//Kasih tulus terbalut buai//Di tepi safana nan landai

Rasa lega, yang benar-benar luar biasa, tergambar di dalam kata-kata tersebut. Memberikan sebuah penjelasan yang padat akan makna tentang apa yang benar-benar dirasakan dan diharapkan si penyair. Namun ia sendiri juga sebenarnya telah berkali-kali merasakan sebuah siklus peristiwa yang membuatnya merasa hancur, kemudian dari rasa hancur tersebut, ia mencari suasana yang lain yang dirasanya berbeda namun sebenarnya tetap sama saja, hanya dengan orang lain yang tentunya berbeda.

Siklus yang terulang tersebut tergambar dalam bait berikut;

Seketika semua hilang//Seiring tetesku kian terlinang/Sebelah mata kau pandang diri ini//acuhkan suguhan cinta ini

Sebuah harapan akan hal yang lebih baik, justru akhirnya membawa nya ke dalam sebuah penyesalan yang sama, yang sedikit demi sedikit membuat pemikiran dalam dirinya menyusun sebuah sistem kekebalan terhadap rasa sakit tersebut. Hal seperti itu memang benar-benar terjadi, seperti ketika seseorang terus menerus dilukai. Pada pertama kali luka tersebut muncul, ada sebuah rasa luar biasa yang membuatnya ingin menghindari luka yang sama, namun, rasa penasaran manusia yang begitu tinggi, apalagi rasa penasaran yang dimiliki oleh seorang ”a-be-ge” membuatnya ingin mencoba, “mengicipi” rasa itu lagi. Tergambar jelas pada rangkaian kata-kata berikut,

Luka ini kembali menganga//Kala asa terbentur dinding nyata//Kala harap mulai sumbang//Berlumuran perih yang makin meradang

Kata kata “luka ini kembali menganga” menunjukkan, bahwa si penyair pernah sekali atau mungkin beberapa kali merasakan rasa sakit yang sama, namun ia tidak jera dan terus mengulang cerita asmara yang sama dengan orang yang berbeda. Dengan harapan, bahwa dengan tidak menyerah dalam menghadapi rasa sakit tersebut, suatu saat ia akan menemukan sebuah resolusi yang terbaik. Akan tetapi, justru luka tersebut terulang terus menerus.

Pada kata kata pada tiap baris dalam bait terakhir puisi tersebut, si penyair mengungkapkan sebuah rasa jengkel yang sedemikian rupa, yang terjadi dari terulangnya rasa sakit yang pada di masa lalu nya pernah ia alami

Manis cintaku mungkin tak lagi kau kecap//Mungkin kini tlah menjadi sepah

Kejengkelan tersebut benar benar ia gambarkan sebagai sesuatu yang tidak lagi berasa. Bahkan, di dalam baris ini, si penyair menunjukkan rasa percaya diri yang luar biasa, yang pada awalnya ia menganggap dirinya sebagai seseorang yang manis. Namun, berakhir menjadi seseorang yang sama sekali tidak mau dipandang. Menggambarkan bahwa rasa percaya diri yang terlalu berlebihan akan sesuatu justru hanya akan menimbulkan kekecewaan yang berlebihan pula.

Pencariannya terhadap harapan yang lebih baik juga dengan jelas dikatakan olehnya di dalam bait ini,

Bunga cinta urung berbuah//Terbunuh oleh egomu yang kau ucap

Sebuah representasi dari harapan yang sudah mulai datang kembali, namun, dihancurkan oleh orang yang dipercayainya. Namun, pada akhirnya sebenarnya si penyair sudah benar-benar lelah, dan memilih untuk pasrah dan menyerah.

Kini kau jauh melangkah pergi//Tinggalkanku tanpa ekspresi//Menoleh pada diri dan kepingan cinta ini//Seolah ku hanya seonggok jasad tiada arti

Ketika membaca rangkaian kata-kata ini, akan terlintas sebuah pemikiran tentang rasa pasrah si penyair terhadap keadaan.

Jika puisi ini dibaca selama beberapa kali, akan terlihat jelas pengulangan yang terjadi, bahwa dalam realita yang dihadapinya, si penyair mengalami repetisi kejadian yang kurang lebih sama, yang membuatnya merasa hampir kebal terhadap rasa sakit seperti itu. Hal ini seperti ini yang membentuk suatu sistem imunitas terhadap perasaan tulus dan kasih sayang. Sehingga suatu saat ketika benar-benar perasaan tulus itu datang, justru ia akan menolaknya dan membuangnya atau bahkan tidak perduli dan kemudian mempermainkan ketulusan yang sesungguhnya tersebut.

Hal seperti ini lah yang ada di dalam pemikiran kebanyakan para remaja pada saat ini. Karena tidak lagi percaya akan adanya sebuah harapan, mereka justru membuang harapan yang benar benar datang untuk mereka. Sebuah sistem kekebalan yang dikembangkan dengan tidak benar. Yang pada akhirnya justru menuntun ke arah kematian rasa. Sebuah imunitas “rasa” yang tercipta dengan salah jalan. Sebuah imunitas “rasa” dalam masa puberitas. []


*) Pandhu Wismono---Seorang “Blady Idiet” yang selalu bermimpi terlalu tinggi, dan kini sedang berusaha mati-matian melawan kematian imajinasi dan pemikiran yang sedang menyiksa sepinya. Bergumul dalam sunyi, bertarung melawan diri. Harus menang!
Semangat berkarya!


0 comments:

Post a Comment

kritik dan saran dari Anda sangat kami butuhkan

Subscribe To RSS

Sign up to receive latest news