Aku Ini

BABAT ALAS AMBARAWA

Selamat datang di Komunitas Babat ALas.Joint grup FB: Komunitas Babat Alas

Sekilas Tentang Babat ALas

Komunitas Sastra Babat Alas Ambarawa merupakan organisasi pemberdayaan anak-anak muda Ambarawa pada khususnya, yang bergerak di bidang sastra dan penulisan kreatif

Bass: Perum Serasi no. 155, RT/RW: 06/XII, Ambarawa, 50612 Contact Person: M. Rifan Fajrin 085640723095 Bulletin Babat Alas menerima tulisan berupa artikel sastra dan budaya, cerpen, dan puisi. Kirim tulisan Anda ke: komunitasbabatalas@ymail.com

Friday, March 2, 2012

Boneka Itu Telah Mati

Cerpen
Boneka Itu Telah Mati
Oleh :@ry@ Sutha

   Listrik padam lagi. Anakku menangis; takut gelap. Aku mencari lilin dan menyalakannya. Dan mulai bercerita pada anakku tentang beruang berwarna kuning dengan rumah pohonnya, dia tinggal sendiri. Hanya ada satu teman yang selalu menemaninya. Sebuah syal berwarna ungu.
“Bu, warnanya kok ungu?”“Iya, beruang itu suka sekali dengan warna ungu”“Kan…kan ada yang lain Bu”“Beruangnya suka ungu, karena dia suka”“Sukanya kenapa?”“Karena ungu itu lambang…”
     Belum selesai aku meneruskannya aku tak melihat tangannya yang usil bergerak-gerak lagi. Anakku tertidur dalam pelukanku. Ku belai rambutnya yang ikal. Persis seperti ayahnya. Tapi sayang dia tak bisa bertemu dengan ayahnya lagi. “Sabar ya nak, hidup yang hanya sekali ini akan menempa dan membuatmu belajar tentang hidup itu sendiri, tentang keyakinan dan apa yang akan engkau lakukan kelak. Semoga dalam mimpimu malam ini engkau tak membayangkan peperangan”, bisikku pelan di telinganya. Dia tertidur dengan memelukku erat sekali. Aku berkaca-kaca melihatnya.
“Andai engkau tahu nak, kalau syal ungu itu adalah syal yang kurajut untuk ayahmu dan sekarang masih tersimpan di lemari. Suatu saat engkau akan tahu, apa yang terjadi dengan ayahmu dan arti warna ungu itu”
     Malam semakin gelap. Kulihat rumah-rumah di sekitarku seperti sampan di lautan luas. Nyala redup dari rumah itu seperti perasaanku malam ini. Remang-remang, begitu juga dengan rumahku. Tak ada suara. Sunyi sekali. Jam sepertinya tak lelah berputar tiap hari, menunjukan waktu, mengarah pada angka-angka dan diam begitu saja di paku yang menggantungnya di dinding.


     Lelah sekali hari ini. Menjadi seorang pengajar taman kanak-kanak di sebuah desa perbatasan membuat aku harus belajar. Aku harus tetap berada dalam alam pikirku sendiri. Aku melihat anakku yang tertidur memeluk bantal gulingnya, manis sekali. Aku menyayangimu. Aku tahu untuk mendapatkan ayahmu aku juga harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari mulutnya, sama seperti sekarang, tiap hari aku harus menjawab pertanyaan-pertanyaan yang meluncur bagai peluru.


     Aku masih ingat pertanyaan hari Minggu kemarin, “Bu, tadi yang di tipi siapa?”. ” pak Presiden jawabku”. “Presiden itu siapa Bu?”. “Orang yang memimpin negara ini”. “Berarti ibu juga di pimpinnya?”. “Iya”. “Presiden kenal Ibu? tahu rumah kita?”. “Tidak. Negara ini punya banyak penduduknya, dari Aceh sampai Papua” . Aku mulai bercerita sedikit tentang yang ku tahu. “Aceh itu di Pulau Sumatera, sedangkan kita sekarang berada di pulau Jawa. Selain itu ada pulau Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, Papua dan masih banyak sekali”. Anakku melihatku, sesekali matanya berkedip. Tapi masih tajam melihat kearahku.


     Dalam hatiku semoga dia tak bertanya pulau-pulau yang lainnya karena aku tahu negara ini punya banyak pulau. Kemudian aku melanjutkan, “Anakku, sebagai manusia kita harus banyak belajar, belajar itu tidak harus ke sekolah, tapi bisa di perpustakaan, bisa dengan orang yang pintar, berguru padanya. Dengan membaca kita akan jadi mengerti sebenarnya manusia itu makhluk yang kecil. Masih ada alam semesta di luar sana.” “Berarti Presiden juga!”. tiba-tiba ia menyela. Aku hanya terdiam. Aku mendekatkan mulutku ke telinganya dan membisikkan “kita semua adalah manusia. Sama sama manusia harus saling menyayangi”. Anakku mengangguk lalu tersenyum. Matanya masih tajam. Seperti mata ayahnya. Tajam sekali kalau memandangku seolah-olah dia adalah tank yang sudah mengunci sasarannya. Sudah tengah malam dan masih gelap. Kegelapan yang tak pernah membedakan tinggi dan rendah, besar dan kecil. Dalam kegelapan tersirat sebuah kejujuran. Mata sering mendapat kebohongan-kebohongan tak terduga. Melihat televisi seperti angin, terasa menyejukan tapi cepat berlalu. Tidak ada yang berharap untuk sebuah kebohongan. Di dalam kegelapan itu semua berwarna sama. Tidak ada yang mencolok. Tidak ada warna-warna yang saling berebut siapa yang paling indah. Listrik masih saja mati, sampai aku tertidur memeluk Ami.
*
     Hari ini aku membongkar celengan semar yang bertubuh tambun. Ku ambil dari bawah meja kecilku. Ruang kecil penuh kertas. Terasa berat. Sudah lama sekali aku tak menyentuhnya. Yang aku lakukan tiap hari adalah memberi makan si Semar itu. Aku harus mengirim surat ke kantor pos, mengabarkan kalau ami sudah tumbuh menjadi gadis kecil, tank kecil yang siap menggempur medan laga.


     Aku mulai menata uang logam dari aluminium bergambar bunga melati, yang sebelumnya juga berwarna kuning. Bunga melati yang berwarna putih yang aku kenal waktu masih sekolah dasar. Aku punya satu pohon melati di depan rumah. Tempat bermainku. Tanpa teman. Aku suka sekali dengan uang logam. Mengingatkan upeti. Masyarakat Jawa mengenal ini sebagai hal yang sama-sama tahu. Apapun namanya itu adalah bentuk otoritas kekuasaan yang masih terlihat sampai sekarang. Juga di tempat suamiku bekerja.


     Aku harus membeli melati dengan melati. Perangko bergambar melati siap membawa kabarku dan Ami kepada Seta. Dari mulut kecilnya yang mungil aku tak tega melihat dia merengek minta boneka Pooh. “Suatu saat nanti, Ayahmu akan membawa boneka itu pulang” kataku.[]


*) Lahir di Cilacap, 2 Oktober. Mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes. Suka membaca dan Menulis. Aktif dalam kegiatan sastra dan teater. Pernah menjadi juri membaca puisi tingkat SMA/SMK se-kota Semarang (2008, 2011) Puisi-puisinya dibacakan dalam Bahana Sastra RRI Semarang (2011). Tulisannya pernah dimuat di Harian Suara Merdeka dan Kompas. Aktivitasnya antara lain pernah mengajar teater untuk anak-anak di beberapa SD di Semarang. Selain itu, ia juga berorganisasi sebagai Koordinator Forum Teater Kampus Semarang (FOTKAS) pada 2008-2010, dan Div. Teater Lab. Teater Us¬mar Ismail Jurusan Bahasa Indonesia Unnes (2011).

1 comments:

Post a Comment

kritik dan saran dari Anda sangat kami butuhkan

Subscribe To RSS

Sign up to receive latest news